Sebenarnya kenapa sih Umat Buddha menyembah patung? Bagaimanakah rupang (gambar/patung) Buddha bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis tertulis bahwa Sang Buddha meminta untuk membuat rupang (gambar/patung) diri-Nya. Namun, Sang Buddha memberikan izin untuk menyimpan relik-relik Beliau kelak.
Bagaimana kisah Buddhis pada awalnya?
Bagaimana kisah Buddhis pada awalnya?
Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah ingin mengetahui mengetahui apakah diizinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk mengenang Sang Buddha sebagai cara menghormati Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda bertanya kepada Sang Buddha, ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?”
Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak layak ketika Saya masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini hanya setelah Saya tiada.”
Juga dalam kotbah terakhir-Nya, Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha menasihati para siswa-Nya bahwa jika mereka ingin menghormati Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa itu: kebiasaan membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik orang–orang yang suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan rupang (gambar/patung)Nya setelah Ia meninggal dunia.
Ide untuk menciptakan rupang (gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan.
Ide untuk menciptakan rupang (gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan.
Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad keempat menyebutkan dalam catatannya bagaimana rupang (gambar/patung) Sang Buddha yang pertama didirikan. Bagaimanapun, kitab-kitab suci Buddhis tidak menyebut apa-apa tentang pengamatan Fa-hsien tersebut. Meskipun demikian, mitologi mencatat sebagai berikut:
Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu selama tiga bulan di surga mengajarkan Abhidhamma atau Dhamma Yang Tertinggi. Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh. Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu kepada Sang Buddha.
Sang Buddha menasihati Beliau untuk mencari seseorang yang dapat membuat rupang (gambar/patung) yang sama persis dengan diri Sang Buddha; kemudian orang-orang akan menjadi gembira melihat rupang Sang Buddha.
Sariputta pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama kemudian, orang yang dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cedana. Setelah rupang itu diletakkan di Vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu, selanjutnya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha tersebut.
Tetapi hal yang sukar untuk menemukan bukti di dalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung keberadaan Rupang Sang Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga teratai atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada permulaan beberapa umat Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha, mengingat memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha.
Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang (gambar/patung) Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan bangsa Yunani. Orang–orang Yunani membantu dan menganjurkan orang–orang India dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri–ciri fisik orang–orang di negara tersebut. Di dalam negara Buddhis itu sendiri, gaya dari Rupang Sang Buddha pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan dengan perubahan jaman dan sejarah.
Maka kamu tidak perlu heran mengapa wajah dan bentuk tubuh dalam rupang Sang Buddha berbeda-beda. Perbedaan yang terjadi dikarenakan oleh latar belakang suku, ras, dan adat istiadat seniman dan masyarakat setempat. Di India, rupang Buddha menyerupai ciri fisik orang India dengan muka khas Indo-eropa tetapi sungguh berbeda dengan bentuk rupang Buddha di negara-negara Asia Timur dengan ciri khas mata minimalis dan lebih berisi.
Namun dari semua perbedaan yang terjadi, Sang Buddha mengajarkan bahwa ada 32 tanda/ciri utama seorang Buddha sehingga hal ini cukup dapat memberi gambaran tentang ciri fisik Buddha.
Maka kamu tidak perlu heran mengapa wajah dan bentuk tubuh dalam rupang Sang Buddha berbeda-beda. Perbedaan yang terjadi dikarenakan oleh latar belakang suku, ras, dan adat istiadat seniman dan masyarakat setempat. Di India, rupang Buddha menyerupai ciri fisik orang India dengan muka khas Indo-eropa tetapi sungguh berbeda dengan bentuk rupang Buddha di negara-negara Asia Timur dengan ciri khas mata minimalis dan lebih berisi.
Namun dari semua perbedaan yang terjadi, Sang Buddha mengajarkan bahwa ada 32 tanda/ciri utama seorang Buddha sehingga hal ini cukup dapat memberi gambaran tentang ciri fisik Buddha.
Penghormatan
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut:
Namo Tassa Bhagavato Arahato SammasambuddhassaTerpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.
Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:
“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho vijja carana–sampanno Sugato Lokavidu Anuttaro Purisa dammasarathi Sattha Devamanussanam Buddho Bhagava ti”
Keseluruhan kalimat ini dalam bahasa Pali. Jika kamu tidak terbiasa dengan bahasa ini, kamu dapat melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang kamu ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut:
“Demikianlah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta tindak–tandukNya, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar , Yang Patut Dimuliakan”
Sebuah Kisah Buddhis
Ada sebuah kisah yang akan membantu kita memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali.
Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat, ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah Dhamma, beribu–ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikannya.
Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri hati dengan kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengetahui bahwa kemasyhuran Upagupta membantu penyebaran ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah Upagupta. Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah. Sebuah pentas yang indah muncul dengan tiba–tiba. Terdapat gadis-gadis penari yang cantik dan musisi yang lincah.
Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan beralih ke pertunjukkan untuk menikmati pernampilannya. Upagupta memperhatikan orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada Mara.
Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta menghadiahkan sebuah kalung bunga kepada Mara.
“Kau telah menyusun suatu pertunjukkan yang luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta.
Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Tiba–tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu sakitnya, sehingga ia mencoba menarik lilitan itu hingga putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya, ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untu membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang paling kuat.”
Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu," kata Maha Brahma.
Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia Upagupta.
“Tolong bukakan lilitan ini; ia sangat menyakitkan,” Mara memohon.
“Baiklah, saya akan melakukannya tetapi dengan dua kondisi,” kata Upagupta. “Kondisi pertama yaitu kau harus berjanji untuk tidak mengganggu para penganut di masa depan. Kondisi kedua yaitu kau harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena saya tahu engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi saya tidak pernah melihatNya. Saya ingin melihat wujud sebenarnya dari Sang Buddha sama persis, dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisikNya.”
Mara merasa sangat gembira. Ia setuju dengan Upagupta. “Tapi satu hal", pinta Mara. “Jika saya merubah diri saya menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembah saya kerena saya bukan orang suci sepertimu.”
“Saya tidak akan menyembahmu,” janji Upagupta.
Tiba-tiba Mara merubah dirinya menjadi rupa yang terlihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu, pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar; rasa baktinya muncul dari dalam hatinya. Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha itu.
“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara. “Engkau berjanji tidak akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kau menyembah saya?”
“Saya tidak menyembahmu. Kau harus memahami saya sedang menghormati Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta.
Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud yang hanya mewakili Sang Buddha. Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang Buddha.
Komentar
Posting Komentar