Perkembangan peradaban manusia rupanya telah membawa perubahan pada segenap sisi kehidupan, antara lain sisi spiritualitas. Sebuah fakta yang menarik bahwa ”spiritualisme” sedang berkembang di negara sekuler macam Amerika). Masyarakat di sana rupanya sudah ”lelah” dengan agama-agama yang bersifat institusional dan dogmatis (baca: agama semitik), dan cenderung memilih jalan hidup yang human-sentris. Buddhisme menjadi salah satu alternatif yang semakin banyak digemari masyarakat di Amerika.
Tidak hanya masyarakat Amerika, golongan intelektual pada umumnya memang memiliki apresiasi yang baik terhadap Buddhisme, dikarenakan prinsip
ajarannya yang tidak dogmatis dan sejalan dengan cara berpikir modern. Salah satunya adalah Derek Parfit) dari Oxford University yang telah
menerima pandangan Buddhis tentang kehidupan dan konsep ”tiada jiwa” (annata).
Dibandingkan Abrahamic Faith, Buddhisme tergolong unik, sebab tidak berparadigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah
dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran (minds). Sebab pikiran adalah sumber dari segala permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia, seperti adanya keinginan, hawa nafsu, emosi, penalaran, pencerapan, berbagai ide/konsepsi/kepercayaan, yang kesemuanya itu perwujudan dari ego atau “aku”. Dengan mengetahui
seluk beluk pikiran atau “aku” beserta segenap fenomenanya, kita dapat mencari akar permasalahan dan menundukkannya. Hal ini diwujudkan dengan
berbagai latihan disiplin dan praktik meditasi. Dari pikiran sebagai fundamen itulah, maka Buddhisme banyak disebut oleh para orientalis barat sebagai ”ilmu pengetahuan tentang pikiran”. Dari situ dapat dipahami bahwa Buddhisme memiliki metoda memandang ke dalam (menguasai pikiran/diri
sendiri) terlebih dahulu untuk kemudian membuat laku ke luar/menanggapi alam sekitar (termasuk misalnya menolak atau menerima suatu ajaran).
Sehingga Buddhisme tidak mementingkan siapa yang mengajarkan suatu ajaran apakah ”nabi” atau ”tuhan” atau ”orang penting” mana pun, tetapi apa
yang diajarkan. Apakah bermanfaat atau tidak, apakah logis atau tidak, dan sebagainya. Dan kesemua penilaian itu tentunya tergantung pada
bagaimana kualitas pikiran kita (sikap ini diterapkan termasuk kepada ajaran Buddha Gautama sendiri, seperti yang dituturkan beliau dalam
khutbahnya pada orang-orang suku Kalama)
Meski banyak diminati oleh masyarakat Amerika dan banyak diapresiasi oleh kaum cendekiawan. Larisnya agama Buddha di masyarakat Barat dan
kalangan cendekiawan umumnya, menunjukkan adanya fenomena perubahan paradigma beragama, dari ”teosentris” yang dipopulerkan oleh agama semitik
(Abrahamic Faith) menjadi ”human-sentris”. Oleh beberapa penganut secular humanism, tradisi ”worship” bahkan sudah dianggap ketinggalan jaman
dan terganti dengan praktek-praktek spiritual seperti meditasi dan yoga. Fenomena perubahan paradigma beragama ini hendaknya dapat menyadarkan
kita untuk secara jujur me-review kembali paradigma beragama yang selama ini kita jalankan.
Tidak hanya masyarakat Amerika, golongan intelektual pada umumnya memang memiliki apresiasi yang baik terhadap Buddhisme, dikarenakan prinsip
ajarannya yang tidak dogmatis dan sejalan dengan cara berpikir modern. Salah satunya adalah Derek Parfit) dari Oxford University yang telah
menerima pandangan Buddhis tentang kehidupan dan konsep ”tiada jiwa” (annata).
Dibandingkan Abrahamic Faith, Buddhisme tergolong unik, sebab tidak berparadigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah
dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran (minds). Sebab pikiran adalah sumber dari segala permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia, seperti adanya keinginan, hawa nafsu, emosi, penalaran, pencerapan, berbagai ide/konsepsi/kepercayaan, yang kesemuanya itu perwujudan dari ego atau “aku”. Dengan mengetahui
seluk beluk pikiran atau “aku” beserta segenap fenomenanya, kita dapat mencari akar permasalahan dan menundukkannya. Hal ini diwujudkan dengan
berbagai latihan disiplin dan praktik meditasi. Dari pikiran sebagai fundamen itulah, maka Buddhisme banyak disebut oleh para orientalis barat sebagai ”ilmu pengetahuan tentang pikiran”. Dari situ dapat dipahami bahwa Buddhisme memiliki metoda memandang ke dalam (menguasai pikiran/diri
sendiri) terlebih dahulu untuk kemudian membuat laku ke luar/menanggapi alam sekitar (termasuk misalnya menolak atau menerima suatu ajaran).
Sehingga Buddhisme tidak mementingkan siapa yang mengajarkan suatu ajaran apakah ”nabi” atau ”tuhan” atau ”orang penting” mana pun, tetapi apa
yang diajarkan. Apakah bermanfaat atau tidak, apakah logis atau tidak, dan sebagainya. Dan kesemua penilaian itu tentunya tergantung pada
bagaimana kualitas pikiran kita (sikap ini diterapkan termasuk kepada ajaran Buddha Gautama sendiri, seperti yang dituturkan beliau dalam
khutbahnya pada orang-orang suku Kalama)
Meski banyak diminati oleh masyarakat Amerika dan banyak diapresiasi oleh kaum cendekiawan. Larisnya agama Buddha di masyarakat Barat dan
kalangan cendekiawan umumnya, menunjukkan adanya fenomena perubahan paradigma beragama, dari ”teosentris” yang dipopulerkan oleh agama semitik
(Abrahamic Faith) menjadi ”human-sentris”. Oleh beberapa penganut secular humanism, tradisi ”worship” bahkan sudah dianggap ketinggalan jaman
dan terganti dengan praktek-praktek spiritual seperti meditasi dan yoga. Fenomena perubahan paradigma beragama ini hendaknya dapat menyadarkan
kita untuk secara jujur me-review kembali paradigma beragama yang selama ini kita jalankan.
Komentar
Posting Komentar